Tuesday, 29 April 2014

Flexibility Is The Key

Kelas Teknik Wawancara kemarin (24/04) kedatangan 3 orang kakak alumni Psikologi Untar sebagai narasumber diskusi, yang membahas mengenai penggunaan teknik wawancara di bidang PIO. Secara garis besar, pembahasan mengenai teknik wawancara di bidang PIO penggunaannya tergantung kepada jenis dan tujuan dari dilakukannya wawancara/interview itu sendiri.

Narasumber pertama, Kak Dinah, menceritakan pengalamannya bekerja di perusahaan pertambangan timah yang berlokasi di Raja Ampat, salah satu ikon wisata menyelam dunia. Dalam perusahaan pertambangan ini, proses rekruitmen tidak hanya dilakukan untuk para pekerja "formal", tetapi juga para pekerja "kasar" yang merupakan penduduk asli sekitar daerah Raja Ampat. Oleh karena terbatasnya intelegensi dari para calon pekerja kasar inilah, Kak Dinah tidak mempergunakan teknik recruitment, khususnya interview formal dengan paper and pencil test ataupun di setting tempat yang tertutup, bebas gangguan, dan sebagainya; karena mereka tidak terbiasa, dan hal tersebut akan membingungkan calon pekerja yang bersangkutan. Teknik yang dilakukan Kak Dinah untuk mensiasatinya tergolong kreatif, yaitu dengan cara pendekatan personal dan melakukan tanya jawab nonformal, seperti di pinggir pantai atau ketika melakukan aktivitas bersama. Pendekatan personal dilakukan dengan cara ice breaking terlebih dahulu, seperti ikut serta makan siang dengan para pekerja, ikut bermain di jam kosong, dan sebagainya. Dengan dilakukannya pendekatan personal, kita dapat mengetahui profil orang yang diperlukan. Hal penting lainnya adalah kita sebagai recruiter dan interviewer, harus mampu melakukan adaptasi dengan budaya sekitar tempat kita bekerja, sehingga akan terlihat adanya respect dari kita sebagai individu terhadap lingkungan budaya yang sedang kita masuki.

Sharing kedua disampaikan oleh Kak Bambang, yang merupakan lulusan S1 Psikologi Untar beberapa tahun yang lalu. Kak Bambang bekerja di salah satu perusahaan asuransi yang berlokasi di Tangerang. Hal utama yang disampaikan Kak Bambang adalah sebagai recruiter, kita sebaiknya tidak hanya melulu berkutat pada tugas yang kita miliki; hanya merekrut orang saja. Alangkah lebih baiknya, kita juga belajar tugas dari bagian-bagian pekerjaan lainnya, sehingga yang kita dapatkan adalah tidak hanya pengalaman di bidang pekerjaan kita sendiri, tetapi juga pengetahuan di bidang pekerjaan yang lainnya. Cari tahu bagaimana proses bisnis, sehingga kita mendapatkan kriteria pekerja yang tepat, lebih mendalam lagi. Kak Bambang mengingatkan kelas bahwa di setiap perusahaan, memiliki kultur bekerja yang berbeda-beda pula, sehingga kemampuan adaptasi sangatlah perlu dilakukan. Sebagai interviewer, kita juga memiliki power yang statusnya lebih tinggi dibandingkan dengan interviewee. Jadi, ketika ada seorang interviewee yang sebetulnya posisinya lebih tinggi dibandingkan kita sebagai interviewer, jangan rendah diri, karena kita yang memiliki power dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak, sesuai dengan kemampuan dan kecocokan pribadi interviewee dengan perusahaan.

Sharing ketiga oleh Kak Samuel, seorang lulusan S2 Psikologi Untar dengan major PIO yang sekarang bekerja di salah satu produsen minuman besar di Indonesia. Kak Samuel mendeskripsikan konsep dari recruitment itu sendiri, yaitu:
Garbage in        -      Garbage out
(latar belakang)         (performa kerja)
Kak Samuel memberitahu kelas bahwa kita dapat memprediksikan performa kerja seseorang, dari latar belakang orang itu sendiri, baik dari pekerjaannya yang terdahulu, alasan berhenti dari perusahaan yang sebelumnya, bagaimana performanya saat ia bekerja sebelumnya, dan sebagainya.
Seperti dua narasumber sharing sebelumnya, penekanan akan kemampuan adaptasi kembali diutarakan oleh Kak Samuel. Menurut beliau, flexibility sifatnya sangat penting untuk keberlangsungan individu di dalam segala hal, baik sebagai pekerja, interviewer, dan lainnya.

Kak Samuel juga meminta mahasiswa yang berminat untuk memperdalam PIO dan yang memiliki cita-cita untuk bekerja di bidang PIO, untuk memfokuskan diri dan mentargetkan pada posisi Corporate Manager Recruitment. Posisi ini merupakan posisi yang tinggi dalam bidang recruitment, sehingga kita harus bekerja ekstra dan membuat detail-detail/target yang lebih kecil terlebih dahulu, sehingga kelak kita akan mencapai posisi tersebut.
Hal ini sesuai dengan pepatah yang menyebutkan:
"Mimpi selalu datang dengan ukuran yang besar, sehingga kita dapat berkembang dan bertumbuh didalamnya."
Courtesy of Google.com

Thursday, 20 March 2014

Remember, everyone has a story

"No two people experience life in quite the same way"

Setiap orang merasakan dan mengalami peristiwa dalam kehidupan dengan cara-caranya masing-masing, dimana kejadiannya-pun pasti berbeda-beda. Sebagai interviewer yang mempunyai tugas untuk membantu klien, pastinya kita sedikit banyak harus mengetahui aspek-aspek pribadi dan peristiwa yang melatarbelakangi masalah klien.

Q: Uh oh man.. What to do? How do I know?

Asking for client's social history is the answer *throws confetti*

Dalam melakukan interview terhadap klien, hal pertama yang sebaiknya dilakukan di awal sesi intake interview adalah menanyakan social history dari klien yang bersangkutan.

For those who don't know yet, social history adalah aspek-aspek historis klien yang berhubungan dengan kehidupan, yang berpengaruh dan sifatnya membentuk perilaku dan kehidupan klien di masa sekarang. Terdapat 2 cara untuk mengetahui social history dari klien, yaitu (1) dalam bentuk tulisan, seperti pemberian form yang harus diisi oleh klien; dan (2) dalam bentuk lisan, dengan menanyakan secara langsung di dalam interview.

Apa aja sih aspek-aspek yang terkandung dalam social history?

Terdapat 12 area yang termasuk ke dalam social history dari klien, antara lain:
  1. Family history: Riwayat keluarga; mencakup dimana klien dilahirkan, dibesarkan, tinggal menetap ataupun berpindah-pindah, tinggal di dalam satu rumah dengan siapa saja, dan sebagainya.
    • Dengan menanyakan mengenai riwayat keluarga, interviewer memiliki kesempatan dan pengetahuan mengenai: (1) gambaran umum kondisi keluarga klien, (2) hubungan klien dengan orang terdekat, dan (3) mengetahui apakah ada riwayat anggota keluarga klien yang memiliki mental disorder.
    • Courtesy of Google
    • Murray Bowen mengembangkan cara efektif yang dapat dilakukan untuk membuat gambaran family history klien secara grafis, yaitu dengan membuat FAMILY GENOGRAM 
  2. Educational history: Kehidupan klien saat bersekolah, atau di sekolah; apakah menjadi pelaku/korban bullying, tingkat pendidikan terakhir klien, prestasi saat bersekolah yang membuat bangga, dan kehidupan sosial saat bersekolah dan kuliah.
  3. Occupational training/job history: Kesibukan sehari-hari klien. Remember to not ask "Apa pekerjaan Anda saat ini?", but instead, ask for "Apa kesibukan Anda setiap hari?". Pertanyaan mengenai pekerjaan akan membuat klien tidak nyaman apabila kemudian diketahui bahwa klien tidak bekerja.
  4. Marital history: Status pernikahan klien; whether he/she is single, married, divorced, or widow/er.
  5. Interpersonal history: Hubungan klien dengan tetangga ataupun komplek perumahan tempat ia tinggal, lingkungan kerja, dan lainnya.
  6. Recreational preferences: Kegiatan yang dianggap klien membuat dirinya senang dan bahagia.
  7. Sexual history: Preferensi dan orientasi seksual klien, frekuensi kegiatan sexual, permasalahan seksual yang dialami klien (jika ada), kepuasan seksual, dan sebagainya. Please note that sexual topic is very sensitive, so the interviewer has to be careful with choosing questioning sentences.
  8. Medical history: Meliputi riwayat operasi, riwayat rawat inap/jalan, masalah kesehatan gigi dan mulut yang serius, kapan terakhir kali melakukan medical check up, dokter yang sering dikunjungi, serta nama dan dosis obat yang dikonsumsi.
  9. Psychiatric/Psychotherapy history: Pernah atau tidak dirawat dengan dokter/psikolog lain; apabila pernah dan memungkinkan, minta untuk dibawakan rekam medisnya, agar interviewer tahu diagnosa klien sebelumnya.
  10. Legal history: Pernah atau tidak ditilang polisi, dan terlibat dalam masalah hukum perdana atau perdata lainnya.
  11. Alcohol and substance use/abuse: Pernah atau tidak menggunakan obat-obat terlarang, alkohol, dan lainnya.
  12. Nicotine and/or caffeine consumption: Apakah klien mengonsumsi kopi atau rokok dalam tingkat addict.
Ketika data mengenai social history telah didapatkan, interviewer akan lebih bisa memahami dan mengerti dalam/pada konteks mana klien mengembangkan kesulitannya dan mengetahui apa akar dari permasalahan klien sekarang ini.

Last but not least, please remember the Interviewer DOs and DON'Ts theory I've blogged last week (you can read it HERE), and apply the same way in social history interview, for the client's sake.

Let me end this blogpost by this awesome gif-type quote:
Courtesy of Tumblr

That's all for this week, until we meet I blog again!


Cheerio!

Thursday, 13 March 2014

Interviewers DOs and DON'Ts [+ story of my awful day: BONUS]

Hola readers!
Today was an awful day. Read the short story of my day, HERE
Materi kelas Teknik Wawancara di minggu ini adalah mengenai keterampilan dasar wawancara.
[interviewer DOs and DON'Ts]


Courtesy of Google
LET'S GET THIS BEGIN!
As an interviewer, we should learn basic skills and procedures of interviewing (the DOs as an interviewer), such as points below:
#1 Kemampuan membina rapport (ability to establish rapport)
Rapport adalah kondisi lingkungan yang bersifat hangat, nyaman yang dibentuk oleh interviewer. Rapport juga dapat didefinisikan sebagai hubungan yang mendorong klien untuk mencurahkan isi hatinya dengan bebas, apapun topiknya, yang masih berhubungan dengan tujuan interview yang dilakukan. Bentuknya dapat berupa jabatan tangan, senyuman, dan sambutan yang bersahabat.  
It's not too difficult to be genuinely kind to others, especially if it's your client who need your help, anyway.
#2 Empathy
Respon empati akan membuat klien tahu dan sadar bahwa interviewer/psikolog memahami, menerima, dan meyakinkan kata-katanya dan 'dunianya', tanpa membuat judgement terhadapnya. Masih berhubungan dengan poin pertama, kesuksesan empati tergantung sepenuhnya dari kualitas pembinaan rapport di awal sesi. 

#3 Attending behavior
Kunci utama dari attending behavior adalah mengurangi porsi berbicara sebagai interviewer, dan memberikan klien waktu untuk menceritakan tentang diri mereka. Fokus dari proses interviewing adalah klien/interviewee. Empati juga dapat ditunjukkan dengan keadaan hening namun tetap dalam sikap empati nonverbal seperti kontak mata, tonasi suara yang lembut dan hangat, dan body language yang penuh perhatian.
The logic: We can't hear while we're talking, don't we?

#4 Questioning technique
Ada dua (2) jenis pertanyaan: open-ended question, dan close-ended question.
Open-ended question lebih efektif apabila dilakukan di awal sesi, sehingga informasi yang keluar dari klien akan semakin kaya. Salah satu contoh dari open-ended question adalah: "Apa yang bisa saya bantu?" (I honestly freaking love hearing/saying this question. It melts my heart, seriously)
Sedangkan jenis kedua, close-ended question adalah pertanyaan yang sifatnya merujuk ke jawaban tertentu, dan biasanya lebih efektif apabila diberikan di akhir-akhir sesi interview, ketika interviewer/psikolog akan mengambil keputusan.

#5 Observation skills
Keterampilan observasi mencakup area-area: perilaku nonverbal (seperti ekspresi wajah dan bahasa tubuh), perilaku verbal (seperti pencatatan key words), dan konflik, diskrepansi, dan inkongruensi (antara perilaku verbal dan nonverbal klien, misalnya karena perasaan tidak nyaman, dll).

#6 Active listening skills
Mendorong klien untuk melanjutkan pembahasannya dengan gerakan nonverbal seperti anggukan, melakukan reflection of content and feelings sehingga klien mengetahui bahwa interviewer/psikolog mendengarkan ceritanya, dan melakukan pembuatan ringkasan mengenai cerita yang sedari tadi klien ucapkan.



PLEASE NOTE: The following content may be unsuitable for professional, and/or beginner interviewers, for any reasons, for the clients' sake.

After all the DOs, now I wish you to welcome the DON'Ts as an interviewer, such as:
#1 Being intrusive
Jangan memaksa klien. Akibat yang bisa ditimbulkan adalah klien merasa terganggu dan kehilangan kepercayaan klien terhadap interviewer.

#2 Interrogating the client
Jumlah pertanyaan yang banyak dan panjang akan membuat klien merasa ditekan dan diinterogasi, yang kemudian akan membuat klien takut dan malah menyembunyikan informasi penting yang seharusnya didapatkan. No no, don't do it, pretty please? :)

#3 Controlling client explores
Pertanyaan yang terus menerus ditanyakan akan membuat klien tidak mampu mencurahkan isi hatinya yang sesungguhnya.

#4 Using 'why' questions
Sebisa mungkin, hindari pemakaian kata 'mengapa'. Kata 'mengapa' akan membuat klien berpikir dan mencari rasionalisasi, sedangkan yang kita butuhkan adalah ungkapan dari hatinya.

#5 Satisfying interviewer's need
Jangan pula bertanya hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu interviewer, karena akan memunculkan rasa takut dan terganggu.


Well, that's all for this blogpost. Until we meet I blog again!


Cheerio!

Thursday, 6 March 2014

Interviews in Psychology

Setelah mengikuti mata kuliah Teknik Wawancara minggu ke-4 dalam membahas pengertian, tujuan, aspek-aspek, kelebihan dan kekurangan dari wawancara, saya sedikit banyak sudah mulai mendapatkan gambaran mengenai materi ini. Selama ini, sebagian besar kita hanya mengetahui hal mendasar, seperti: 'wawancara adalah proses yang akan dihadapi seseorang yang melamar pekerjaan'.
One question: Sesederhana itukah fungsi wawancara? 

Kalimat diatas tidak sepenuhnya salah, tapi perlu dilengkapi sedikit banyaknya.

Seorang HRD yang telah saya dan kelompok wawancarai beberapa minggu yang lalu, mengatakan bahwa benar, wawancara memang akan dilakukan kalau kalian ingin melamar pekerjaan.
TAPI... Apakah untuk orang yang sudah bekerja, tidak akan merasakan proses interview lagi?
[My thoughts: Enak banget dong buat yang udah kerja!]


And the answer is no.
"Pastinya masih, dong! Kalau nanti kalian naik jabatan, kan harus tetep diinterview dulu. Juga kalau kalian ikut forum rapat/diskusi yang diadain oleh perusahaan, kan ada proses wawancara nonformal juga, seperti bincang-bincang, tanya jawab gitu lah", said Ko DT (26 tahun, HRD).

Beberapa poin yang mulai terbentuk:
#1 Wawancara bukan hanya kegiatan awal dari proses individu yang masuk bekerja, tetapi terus tetap dilakukan seiring berjalannya waktu.
#2 Wawancara bukan hanya berbentuk formal, tetapi juga ada proses wawancara nonformal (contohnya seperti tanya jawab dalam forum). 
#3 Wawancara bukan hanya berbentuk one-on-one (1 vs 1), tetapi bisa berbentuk panel (misalnya 1 interviewee diinterview oleh 3 interviewer).

Dua minggu berturut-turut, seluruh kelompok di mata kuliah Teknik Wawancara secara bergantian membahas mengenai pengalaman mereka mewawancarai praktisi psikologi. Ada yang mendapatkan bagian di klinis anak, klinis dewasa, pendidikan, maupun PIO. Saya dan kelompok mendapatkan jatah untuk mewawancarai praktisi PIO, sehingga 3 poin diatas secara garis besar saya tarik dari kesimpulan jawaban dari subyek kelompok saya, seorang laki-laki dengan jabatan HR Recruitment, yang telah bekerja selama 1,5 tahun.

Dari teman-teman kelompok lain yang ditugaskan untuk mewawancarai praktisi bidang klinis dan pendidikan, poin yang bisa saya rangkum antara lain:
#4 Wawancara bukan hanya alat yang digunakan oleh praktisi PIO seperti HRD, tetapi juga digunakan oleh praktisi psikologi di bidang klinis maupun pendidikan; which means hipotesis awal kita kurang tepat, duh!
#5 Wawancara di bidang klinis dilakukan untuk menggali informasi klien, dalam tujuannya untuk assessment mengenai treatment yang harus diberikan selanjutnya. Proses wawancara dalam bidang klinis dimulai dari pembinaan rapport antara klien dan interviewer sehingga terbangun rasa percaya dan kesan positif bagi interviewer pada klien. Penggunaan wawancara di bidang klinis juga harus dibarengi oleh pemberian tes psikologis, dimana kedua hal ini berperan saling mengkonfirmasikan.
#6 Wawancara di bidang pendidikan dilakukan untuk tujuan konsultasi, dimana biasanya wawancara ini dilakukan oleh Guru BK. Wawancara yang dilakukan dapat beralaskan aspek-aspek akademis seperti nilai siswa yang kurang baik dan masalah kehadiran siswa, ataupun aspek-aspek non-akademis seperti siswa yang berpacaran di sekolah, masalah keluarga, dan lainnya.

Lastly, dari semua kesimpulan yang telah kelompok berikan, ada 1 kalimat yang menjadi poin kunci dari pengaplikasian wawancara, yaitu:
#7 Wawancara adalah skill.

Seperti pisau yang tajam, apabila tidak diasah, lama-kelamaan akan tumpul juga. Kemampuan wawancara yang tinggi harus didukung penggunaannya yang rutin dan berkelanjutan.

Courtesy of Google

Sekian mengenai pemikiran saya mengenai wawancara dan penggunaannya di bidang psikologi.

Until we meet I blog again, cheerio! :)

First Of All...

Hi readers!

Here's my first attempt at re-running my deleted blog, 2 years ago.
Sebisa mungkin saya pasti update blog ini, karena ada keperluan juga untuk tugas di beberapa mata kuliah.

YUP, now you know why I'm back to do blogging...
#1: Karena ada tugas. *cry*

My next post will be about my thoughts of the use of interview techniques in psychology :)

Stay tuned, 

Cheerio!